Thursday, August 11, 2011

Seorang Ayah Bersama Anak Mudanya

Suatu petang, seorang ayah bersama anak mudanya yang baru menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka.
Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pokok berhampiran. Si ayah menudingkan jari ke arah gagak sambil bertanya, “Nak, apakah itu?”
“Burung gagak,” jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk. Namun, sejurus kemudian ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama. Menyangka sang ayah kurang mendengar jawaban tadi, anak itu menjawab sedikit lebih keras, “Itu burung gagak, Ayah!”
Tak lama berselang, si ayah mengajukan pertanyaan yang sama lagi.
Bingung karena pertanyaan yang sama diulang, si anak menjawab lebih keras, “BURUNG GAGAK!!”
Si ayah terdiam seketika.
Di laur dugaan, sang ayah mengajukan pertanyaan itu lagi. Tampaknya, kesabaran si anak mulai hilang. Dengan nada kesal, ia menjawab, “Itu gaagaaaaak, Ayah.”
Anak itu terkejut, karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan, kali ini, kesabaran si anak benar-benar hilang. Ia pun marah.
“Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal tersebut, dan saya pun sudah memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan?! Itu burung gagak, burung gagak, Ayah...,” kata si anak terbakar amarah.
Tanpa menghiraukan anaknya yang marah, si ayah bangun, kemudian masuk ke dalam rumah.
Tidak lama berselang, ia keluar lagi membawa sesuatu di tangannya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.
“Coba kau baca yang pernah Ayah tulis dalam diary ini,” pintanya sambil mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya..

Hari ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya, “Ayah, apa itu?”
Dan aku menjawab, “Burung gagak.”
Walau bagaimana pun, anakku terus bertanya soal yang serupa, dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian. Demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya.
Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak…
Setelah membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah ayahnya yang kelihatan sayu. Si Ayah perlahan bersuara, “Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 5 kali, kesabaranmu sudah hilang. Engkau pun marah.”
Seketika itu juga si anak menangis dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya memohon ampun.


No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More